Mewujudkan Produk Keuangan Syariah Berbasis Kearifan Lokal

  • 09:49 WITA
  • Program Studi Ekonomi Islam UIN Alauddin Makassar
  • Artikel

Perkembangan keuangan syariah di Indonesia mengalami peningkatan dalam aspek aset keuangan, variasi produk, dan kerangka regulasi yang semakin komprehensif. Akan tetapi, peningkatan tersebut tidak diiringi dengan market share (pangsa pasar) yang masih jauh di bawah lembaga keuangan konvensional yaitu berada pada angka 8.58%. Pangsa pasar perbankan syariah rendah sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan angka 87% penduduk muslim. Tentunya harapan yang ingin dicapai ialah aset keuangan syariah sama besarnya dengan total populasi karena seorang muslim seharusnya memilih jasa keuangan syariah daripada jasa keuangan konvensional.

 Salah satu penyebab penurunan kesadaran masyarakat juga dari statement “bank syari’ah dianggap sama saja dengan bank konvensional”, bahkan beberapa sarjana mengangakat validitasnya perbankan syariah melalui kritik dari beberapa fatwa seperti fatwa Muhammad Sayyid Ali Tantawi tentang bunga dan juga konsep tawwaruq. Untuk mendukung pangsa pasar perbankan syariah, wacana pergantian istilah-istilah arab ke bahasa yang familiar muncul sebagaimana yang dikemukakan oleh Jusuf Kalla. Realita yang terjadi di negara yang berada pada Asia Tenggara mengalami kesulitan yang sama, minimnya pengetahuan tentang arabic term. Negara kawasan tersebut lebih cenderung pada bahasa melayu, sedangkan di Timur Tengah bahasa Arab menjadi bahasa kesehari-hariannya. Statement ini didukung oleh beberapa penelitian yang berlanjut hingga sekarang.

 Kekhawatiran terjadi bermula pada minoritas muslim di Singapura tidak mengetahui Islamic Financial Term yaitu murabahah, ijarah, dan musyarakah. Akan tetapi, nasabah memilih perbankan syariah disebabkan oleh faktor religuitas sebagaimana di dalam al Quran adanya larangan riba. Masyarakat Malaysia juga mengalami persoalan serupa,  minimnya pengetahuan terkait hal teknis memunculkan ide untuk membuat strategi edukasi perbankan syariah pada pemuda millenium. Lembaga Keuangan Non Bank juga mengindikasikan hal yang demikian bahwa nasabah tidak mengetahui istilah tabarru’ yang merupakan fitur utama dalam asuransi syariah. Selain itu, para nasabah sepakat tentang istilah tersebut yang merupakan ciri khas keuangan syariah akan tetapi dengan itu nasabah mengalami kesulitan terkait akses informasi yang cepat dan pemahamannya. Bahkan ditemukan tidak komprehensifnya pemahaman tentang jasa perbankan syariah di level manajer bank di Malaysia seperti ghurmi (risk) dan gharar (uncertainty).

 Kasus yang terjadi di Indonesia d dengan masyarakat kota Yogyakarta sebagai sampel ialah masyarakat menginginkan penggunaan istilah skim keuangan syariah dengan istilah bahasa Indonesia daripada istilah-istilah arab. Sebab itu, saran kepada perbankan syariah untuk tidak lagi mengarabisasi produknya dan memilih bahasa Indonesia dalam upaya sosiolisasi dan marketing product. Karenanya hanya komunitas pesantren yang dapat memahami dengan cepat arabic term dikarenakan istilah tersebut familiar dengan materi pembelajaran mereka yaitu muamalah. Tidak adanya efek sosial nasabah terhadap istilah arab dalam produk perbankan syariah, nasabah lebih termotivasi oleh faktor diluar kebahasaan misalnya layanan dan juga keuntungan produk yang ditawarkan. Pada intinya nasabah kurang paham dengan istilah-istilah arab.

 Menyoal arabic term sebagai kelemahan keuangan syariah, dapat dikritik pola pengembangan perbankan syariah yang mendahulukan aspek formal-struktural yang menganggap akad perbankan syariah merupakan ‘urf masyarakat arab dan mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia. Padahal membangkitkan kearifan lokal dengan menggali potensinya di daerah setempat untuk menjadi alat pendorong dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan daerahnya merupakan prestasi yang baik.  Praktek ekonomi dalam nilai kearifan lokal sangat banyak di Indonesia karena kekuatan kearifan lokal ada pada konteks learning by experience yang diturunkan dari generasi ke generasi sehingga kemapanan nilai ini menjadi dasar kekuatan praktek tersebut masih ada sampai sekarang. Kemungkinan yang ada ialah dengan adanya praktek-praktek tersebut menciptakan market share  tersendiri. Namun permasalahan yang ada kemudian yaitu kurangnya pemahaman terhadap kultur budaya setempat yang menjadikan lembaga keuangan syariah tidak merespon keselarasan sosio-kultur antara perusahaan dan kearifan lokal.

 Menurut Worldbank tingkat pengeluaran keuangan karena alasan agama, yaitu 7% di dunia, atau 9,7% pada kelompok negara-negara D-8 (Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Turki). Selain itu, agama bukan penyebab yang menjadikan inklusi keuangan rendah, akan tetapi ialah kendala budaya dan geografis di negara-negara maju, namun, individu dengan tingkat melek finansial yang rendah karena preferensi agama mereka di negara-negara Muslim secara khusus menunjukkan perilaku terhadap tidak dimasukkannya ke dalam sistem keuangan atau masyarakat yang memakai jasa keuangan karena harga/fitur produk. Oleh karena itu, upaya mengintegrasikan antara antara nilai-nilai budaya dan agama dalam bingkai inklusi keuangan sangat penting. Jika hal itu terwujud, maka pengembangan inovasi produk akan terealisasi dengan sendirinya sebagaimana program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding.

Model marketing lembaga keuangan syariah terutama perbankan syariah kepada masyarakat cenderung bergaya top and down dengan mencari calon nasabah yang mempunyai dana yang besar di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Bahkan prospek kedepan perbankan syariah yaitu mengelola dana pemerintah dengan upaya menjalin kerjasama beberapa instansi pemerintah maupun swasta, kerjasama itu berwujud seperti penerimaan gaji, dan pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di institusi pendidikan. Kegiatan sosiolisasi semacam expo keuangan syariah juga ditempatkan pada kalangan menengah keatas seperti di mall, institusi pendidikan dan kegiatan sosial yang berada dipusat kota seperti gerakan jalan santai. Hal ini menciptakan perkembangan pangsa pasar keuangan syariah cenderung statis mengikuti perkembangan keuangan konvensional, dimana lembaga keuangan syariah belum mampu merebut pangsa pasar lembaga konvensional. Tentunya, bila dilihat lebih jauh, kalangan menengah keatas berorientasi pada kualitas layanan, harga produk, dan profit sehingga persaingan antar lembaga cenderung mereplika produk pesaing mereka satu sama lain dan hal itu juga terjadi di lembaga keuangan syariah.

 Pola marketing  tersebut tercerminkan pada beberapa visi bank syariah antara lain; 1) Bank Syariah Mandiri “Bank Syariah Terdepan dan Modern”, 2) Bank Muamalat “Menjadi bank syariah terbaik dan termasuk dalam 10 besar bank di Indonesia dengan eksistensi yang diakui di tingkat regional”, 3) Bank BRI “Menjadi bank ritel modern terkemuka dengan ragam layanan finansial sesuai kebutuhan nasabah dengan jangkauan termudah untuk kehidupan lebih bermakna”. Walaupun nilai-nilai visi diatas cenderung bermakna umum dalam segi pelayanan mikro maupun makro, tetapi wujud dan realita yang terjadi ialah pemberdayaan masyarakat kecil dan menengah masih kurang tersentuh oleh keuangan syariah. Padahal konsep al-falah dalam ekonomi Syariah lebih diperuntukkan bagi kalangan menengah kebawah (QS. Al-Quraisy: 4). Untuk itu keseimbangan pola marketing  mikro dan makro perlu diwujudkan.

market share keuangan syariah sebagai bentuk dasar atau pondasi kelas sosial di masyarakat, gambar tersebut mereplika tujuan dari piramida maslahah dimana kelas sosial paling bawah merupakan market share utama yang harus dipenuhi kesejahteraannya lebih dahulu oleh lembaga keuangan syariah (mashlahah dharuriya) thasil market share keuangan syariah yang masih di kisaran 8.58%, dan 97.5% lebihnya dikuasai oleh lembaga konvensional, seharusnya lembaga keuangan syariah menciptakan positioning  product dikalangan masyarakat awam/unbanked atau calon nasabah  yang berliterasi keuangan syariah rendah terutama pada level mikro yang tinggal dipedesaaan agar supaya  terintergrasi dengan pencapaian target 20% pangsa  pasar keuangan syariah lima tahun kedepan (Perencanaan & Nasional, 2019). Meningkatkan  positioning  product melalui kearifan lokal akan lebih mudah pada masyarakat unbanked yang berdomisili pedesaan, dan juga membantu menghilangkan stigma “bank syari’ah sama saja dengan bank konvensional”, karena hakikinya statement tersebut sudah mewakili pikiran masyarakat bahwa produk keuangan syariah tidak terkesan di hati mereka.

 Menganalisis proses distrust (ketidakpercayaan) masyarakat awam terhadap lembaga keuangan syariah salah satunya ialah pola marketing yang masih pada ranah nilai-nilai dakwah shiddiq, amanah, fathanah, tabligh dan istiqamah saja. Kelima unsur dakwah tersebut belum mampu meningkatkan animo masyarakat memilih jasa keuangan syariah karena indikator fathanah (kecakapan) para manajer keuangan syariah belum menyentuh pada konsep psikosufistik. Psikologi masyarakat akan menolak sendirinya ketika marketer  melihat secara imaji calon nasabah adalah keuntungan atau bonus ketika mencapai target, sehingga ada pertentangan intuisi masyarakat apakah lembaga keuangan syariah mengedepankan dakwah ekonomi Syariah atau marketing (komodifikasi agama). Sejatinya, sense masyarakat dalam memahami fenomena demikian sudah terfilter dengan adanya local genius. Local genius atau nilai-nilai budaya terimplikasi pada proteksi hati/penolakan kerjasama terhadap lembaga keuangan syariah, karena yang diinginkan masyarakat adalah rasa al-insaniyah (Kemanusiaan) terhadap penawaran yang diberikan oleh lembaga keuangan syariah. Rasa kemanusian itu ada pada local genius dengan berbagai macam varians praktek tradisionalnya di Nusantara, seperti praktek kerjasama paroan, prapatan, dan pertelon yang mengedepankan nilai-nilai saling membantu, gotong royong, dan memerhatikan.

 Dakwah ekonomi Syariah seharusnya menerapkan seperti yang dilakukan oleh walisongo terhadap pola pengelolaan dan pengembangan budaya masyarakat, dimana mereka mampu membaca psikologi dan fenomena masyarakat ketika itu masyarakat menganut agama Hindu dan Kejawen. Ketika mendengar Walisongo maka identik dengan produk kebudayaan slametan atau tahlilan, hal itu dibutuhkan konsep psikosufistik untuk membuat satu tradisi. Psikosufistik dapat juga digeneralisasi pada ekonomi syariah sebagaimana prinsip-prinsipnya terbagi atas lima. Pertama, nilai tauhid. Nilai yang fundamental yaitu nilai-nilai tauhid akan menjadi dasar pembentukan kesadaran ilahiyah manusia, bahwa hanya kepada Allah manusia beribadah, memuja, dan bersandar sehingga akan mengikatkan diri secara kuat dengan Allah swt. Sebagaimana dalam al Quran  QS. At-Talaq: 2-3 dijelaskan bahwa bertakwa akan berdampak pada kokohnya mental seseorang sehingga dia tidak takut dengan kemiskinan dan kefakiran. Landasan ini akan merubah religiutas intritnsik[1] manusia menuju nilai spiritualitas, atau contoh lebih konkritnya ialah dengan beragama Islam lalu paham akan larangan riba serta memilih jasa keuangan syariah atas dasar syariat (religiutas) maka menimbulkan ketenangan jiwa (spiritualitas) yang berujung pada keloyalitasan seorang nasabah.

Kedua adalah nilai kemanusiaan. Nilai tasawuf ini memandang interaksi sosial sebagai wadah dasar bagi sebuah komunitas masyarakat awam, sedangkan lembaga keuangan syariah muncul atau hadir sebagai penolong. Kesadaran akan nilai-nilai kemanusian ini terdiri dari nilai saling menghormati dan menghargai dengan sesama, saling menolong dan kerjasama dalam kebaikan, mengutamakan kepentingan bersama, berlaku jujur ketika bertransaksi, tanggung jawab, dan memberi perlindungan kepada yang lemah. Nilai-nilai tersebut disebutkan dalam QS al-An’am ayat 50-52. Ketiga adalah kerendahan hati (low profile), seorang da’i atau marketer seharusnya memilki sikap kerendahan hati agar kesadaran mad’u (orang yang didakwah/calon nasabah) tersebut akan menimbulkan jiwa yang lemah lembut, penuh kasih sayang, kebersamaan, dan memiliki rasa empati sehingga mampu menangkap pesan dakwah sang da’i dan tujuan utama yaitu kemantapan hati, bukan keinginan mendapatkan profit. Keempat, kearifan lokal. Kearifan lokal dalam historisitas perkembangan Islam di Nusantara, sarat diwarnai oleh sikap yang menunjukkan kearifan dalam merespon kondisi sosial-kultur masyarakat dimana Islam tumbuh dan berkembang. Pembahasan ini akan dibahas tersendiri pada proses menciptakan produk berbasis kearifan lokal. Kelima, perubahan diri (transformasi diri), yakni bahwa seorang yang beriman memiliki satu tujuan akhir yang hendak dicapai, yaitu dekat dengan Allah swt. Nilai ini merupakan puncak dari nilai-nilai diatas agar manusia mengetahui bahwa ibadah yang dierima salah satunya muamalah akan kembali kepada-Nya.

 Ketika dakwah ekonomi syariah dijalankan, maka produk berbasis kearifan lokal juga dibutuhkan sebagai penguat dari dakwah itu sendiri. Wacana pergantian istilah arab tersebut tentunya tidak perlu dilakukan, akan tetapi perlu adanya penambahan produk khusus pada  segmen keuangan mikro. Kalau menelisik lebih jauh ketika akan mewujudkan produk berbasis kearifan lokal maka alternatif solusi pun muncul yaitu: 1) istilah-istilah arabic term dipadankan dengan istilah-istilah bahasa daerah setempat; 2) mengadopsi praktek ekonomi di daerah setempat dan menjadikannya produk keuangan. Kalau alternatif pertama dilakukan maka proses screening status hukum produk tersebut tidak diperlukan, mengingat produk-produk keuangan syariah sekarang sudah dinaungi oleh payung fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Jikalau alternatif kedua dilakukan maka beberapa masalahpun muncul, apabila praktek ekonomi tidak ditemukan dalam kategori akad yang bernama yang sesuai dalam kajian khasanah keilmuan klasik maka perlu dilakukan kajian yang mendalam tentangnya, dan perlu disinergikan antara Majelis Ulama setempat dengan lembaga keuangan syariah. Jikalau praktek ekonomi tersebut masuk dalam kategori haram maka solusi dilakukan ialah menamai produk tersebut dengan istilahnya di masyarakat setempat dan meluruskan praktek ekonomi tersebut yang sesuai dengan aturan syariat. Hal yang terpenting ialah mengembangkan produk keuangan syariah harus berdasarkan shariah complience (Kepatuhan terhadap syariah), karena berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah sehingga dapat menggangu proses perolehan market share. Untuk itu menginovasi produk berbasis kearifan lokal yang sesuai dengan rambu-rambu syariah perlu diperhatikan ialah mendalami lebih jauh praktek yang berkembang di masyarakat lalu dianalisis dengan kaidah-kaidah fiqh yang berlaku.